Perbedaan antara Wanita dan Perempuan: Memahami Identitas Gender yang Berbeda

Beberapa bulan yang lalu, netralitas kata menjadi topik yang hangat diperdebatkan di media sosial. Salah seorang teman kemudian bertanya kepada saya tentang contoh kata yang tidak netral. Tanpa berpikir terlalu lama, saya langsung menuliskan kata “wanita” dan “perempuan”. Meski kedua kata tersebut sering dianggap sebagai sinonim, namun sebenarnya keduanya memiliki sifat politis dan ideologis serta makna dan penggunaan yang berbeda di setiap periode kekuasaan.

Perbedaan antara Wanita dan Perempuan Memahami Identitas Gender yang Berbeda
Perbedaan antara Wanita dan Perempuan Memahami Identitas Gender yang Berbeda

Secara etimologis, istilah “wanita” berasal dari bahasa Sansekerta “vanita” yang memiliki arti “yang diinginkan”. Dalam hal ini, “wanita” bukan merujuk pada perbedaan jenis kelamin, melainkan ditempatkan sebagai “objek” yang selalu diinginkan oleh laki-laki. Kata “vanita” kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno dan menjadi “wanita”.

Dalam artikel jurnal yang berjudul “Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, dan Pragmatik” (1997) yang ditulis oleh akademisi Sudarwati dan D. Jupriono, dikemukakan bahwa kata “wanita” mengandung konotasi terhormat sebagai hasil dari proses ameliorasi. Artinya, “wanita” mengalami perubahan makna yang tampak dari makna kata turunannya, yaitu “kewanitaan”.

Kata “kewanitaan” merujuk pada “keputrian” atau “sifat-sifat khas wanita”. Seperti seorang putri di keraton, seorang wanita diharapkan bersikap dan berperilaku yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, dan menyenangkan pria. Makna “wanita” tersebut berpadu dengan budaya Jawa Kuno yang masih feodal dan sering kali menempatkan perempuan di ranah domestik. Oleh karena itu, memahami perbedaan antara “wanita” dan “perempuan” menjadi penting untuk memahami identitas gender yang berbeda dan sejarahnya.

Perempuan dan Lelaki Sejajar dalam Makna

Makna kata perempuan ternyata berbeda dengan yang sering dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang memiliki arti “tuan”, “orang yang mahir/berkuasa”, “kepala”, “hulu”, atau “yang paling besar”. Menurut Sudarti dan D. Jupriono, dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan memiliki nilai yang cukup tinggi—tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki.

Makna Kata Perempuan

Kata perempuan berhubungan dengan kata ampu yang artinya sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali. Makna kata perempuan yang sarat akan keberdayaan serta perlawanan menjadikan perempuan dipakai sebagai simbol pergerakan. Sebagai contoh, pada Kongres Perempuan Pertama pada tanggal 22 Desember 1928, mereka memilih menggunakan kata perempuan sebagai pengganti wanita untuk menunjukkan sikap perlawanan.

Perubahan Penggunaan Kata Perempuan dan Wanita

Namun, setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno mengganti kata perempuan dengan wanita. Kongres Perempuan pun berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Soekarno beranggapan bahwa kata wanita lebih halus digunakan daripada perempuan. Sejak saat itu, kata wanita lebih sering digunakan untuk nama-nama organisasi perempuan, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai organisasi perempuan progresif terbesar dalam sejarah Indonesia.

Perubahan penggunaan kata perempuan dan wanita tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara, kata “perempuan” dianggap memiliki konotasi negatif dan digantikan dengan kata “wanita” yang dianggap lebih positif dan halus. Namun, perdebatan tentang netralitas kata terus berlanjut, dan pemilihan kata yang tepat menjadi penting untuk memperjuangkan hak dan martabat perempuan.

Pelintiran Kata Wanita pada Masa Orde Baru

Pada masa kepemimpinan Soekarno, kata wanita lebih dominan digunakan daripada kata perempuan, namun pada saat itu tidak ada pembatasan pergerakan perempuan yang signifikan. Oleh karena itu, perubahan istilah tidak membuat organisasi seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menjadi kurang progresif. Sebaliknya, konotasi wanita tidak melulu dipandang sebagai “penurut”.

Kebijakan Orde Baru terhadap Perempuan

Namun, setelah peristiwa G30S pada 1965 yang mengantarkan rezim Orde Baru ke tampuk kekuasaan dengan kepemimpinan Soeharto, terjadi penghancuran gerakan besar-besaran, termasuk Gerwani. Dalam buku Susan Blackburn yang berjudul Women and the State in Modern Indonesia, disebutkan bahwa pada masa Orde Baru, pemerintah melihat perempuan sebagai struktur grup di masyarakat yang perlu dibawa ke jalan “yang benar”, agar sejalan dengan kebutuhan dan cita-cita pemerintah dalam pembangunan, tidak banyak melawan, dan pasif.

Politik Ibuisme Negara

Penggunaan kata wanita pada masa Orde Baru bukan hanya dipakai secara simbolik seperti yang dilakukan oleh Soekarno, melainkan digiring agar wanita sesuai dengan “kodrat” yang sesungguhnya, yaitu halus, tunduk, patuh, mendukung, dan mendampingi. Pemerintah serius menjalankan misi tersebut, seperti pembentukan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW) serta organisasi istri-istri pegawai negeri sipil, Dharma Wanita, dengan nilai-nilai yang sangat mendomestikasi perempuan.

Usaha untuk “mematikan” pergerakan perempuan dan mengembalikan mereka pada “kodratnya” sebagai seorang wanita dan ibu disebut oleh peneliti, aktivis, dan penulis Julia Suryakusuma sebagai politik Ibuisme Negara. Oleh karena itu, para aktivis pergerakan perempuan baru yang lahir pada tahun 1980-an mengubah atau menolak istilah wanita dan domestikasi Orde Baru. Gerakan ini mengembalikan istilah perempuan, sesuai dengan aspirasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928.

Pada masa ini, muncul berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang independen dan tidak berafiliasi dengan pemerintah. LSM biasanya menggunakan kata perempuan, misalnya, Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), dan masih banyak lagi.

Depresiasi Kata Perempuan di Masyarakat Luas

Meski kata perempuan mulai dijadikan simbol perlawanan oleh para aktivis pergerakan, maknanya di masyarakat luas telah mengalami degradasi semantis, atau peyorasi dan penurunan nilai makna. Hal ini terbukti dari penggunaan kata wanita yang lebih sering digunakan di bidang formal, seperti pengusaha wanita, wanita karier, insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan lain-lain.

Pulihnya Makna Perempuan di Pemerintahan

Baru setelah Orde Baru runtuh pada 1998, makna kata perempuan kembali dipulihkan di jajaran birokrasi pemerintah. Presiden Abdurrahman Wahid saat itu mengganti Menteri Negara Urusan Peranan Wanita menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (MenegPP).

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Definisi Perempuan yang Peyoratif

Depresiasi kata perempuan juga terlihat dalam pencantuman definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang terbit pada 28 Oktober 1988. Definisi perempuan di KBBI disusul dengan contoh-contoh kata lain yang bersifat negatif seperti geladak, jalang, jalanan, jahat, lacur, nakal, dan lain-lain.

Definisi perempuan di KBBI yang sudah berumur hampir 32 tahun namun hingga sekarang masih belum diperbarui. Hal ini mendorong seniman dan kurator Ika Vantiani sejak dua tahun lalu, bersama kawan-kawannya, mengampanyekan perubahan definisi perempuan di KBBI. Lewat tagar #PerempuanDalamKamusBahasaIndonesia di akun media sosialnya serta pameran instalasi, Ika terus mengampanyekan pentingnya penggantian definisi perempuan di KBBI, karena KBBI adalah kamus acuan utama dalam bahasa Indonesia.

“Ketika orang mau belajar bahasa Indonesia, berbagai institusi mulai dari sekolah sampai lembaga-lembaga, semuanya mengacu pada kamus ini. Karena KBBI cetaklah yang paling lengkap, akurat, dan resmi,” ujar Ika dalam wawancaranya dengan Magdalene beberapa tahun lalu.

Merebut Kembali Narasi: Wanita Baca

Mengambil inspirasi dari Gerwani, sebuah organisasi perempuan progresif yang dihancurkan pada masa Orde Baru, sebuah kelompok literasi bernama Wanita Baca mencoba merebut kembali narasi wanita yang sering kali dicap sebagai produk propaganda dan dianggap memenjarakan perempuan. Kelompok ini merupakan komunitas baca, diskusi, dan toko buku yang menjual berbagai macam buku tentang feminisme dan pergerakan perempuan.

Menurut Faiza Mardzoeki, aktivis sekaligus pendiri Wanita Baca, kata wanita dipilih karena ia ingin mengklaim kembali makna positif dari kata tersebut. Sebagai agen aktif di masyarakat, kata wanita dan perempuan sama saja dan tidak ada lagi saling tuduh mana yang lebih tinggi. Faiza mengatakan bahwa ia ingin merebut kembali makna dari kata wanita dan perempuan sehingga mereka dianggap sebagai sumber pengetahuan dan kehidupan.

“Reclaim kembali makna, baik kata wanita atau perempuan. Wanita baca sendiri artinya yang berani membaca. Wanita atau perempuan itu sumber pengetahuan dan kehidupan,” ujarnya kepada Magdalene.

Anda sedang melihat postingan ini: Perbedaan antara Wanita dan Perempuan: Memahami Identitas Gender yang Berbeda